Oleh : Muhammad Rafii Nasution
Disela-sela
pekerjaanku menggembala kambing, aku duduk di jembatan kayu diatas parit disebuah perkebunan kelapa sawit yang
cukup luas. Desa itu bernama desa Sinunukan, kabupaten Madina, Sumatera Utara, yang sekaligus di desa itulah aku dilahirkan.
Dikala itu aku duduk dibangku kelas 3 SMP. 7 tahun yang lalu selepas pulang sekolah aku
langsung menggembala kambing dan itu telah menjadi kebiasaanku sehari-hari. Aku
juga sering memancing didaerah tempat gembalaku, yang kebetulan ikannya cukup
banyak. Dan aku juga sering tiduran diatas selembar jembatan kayu/papan. Membaca buku pelajaran
sekolah sering kulakukan, suasananya sejuk yang berada ditengah-tengan
perkebunan.
Pernah
suatu ketika, aku males untuk belajar. Aku memilih merenung ketimbang belajar
pelajaran besok yang akan dipelajari disekolah. Merenung diantara pepohonan kelapa
sawit sembari menggembala kambing bagiku memiliki arti tersendiri. cukup banyak
kambing yang aku gembala saat itu, kurang lebih ada 15 ekor kambing, cukup
banyaak bukan. Memang menggembala kambing sudah menjadi tradisi daerah setempat
tempatku tinggal.
Aku
merenungkan masa depanku kelak, hendak kemana jika lulus lulus nanti. Menetap dikampung
halaman, hidup seperti kebiasaan orang disana atau merantu kesuatu tempat yang
belum pernah aku jalani sama sekali.
Tanpa
kusadari lamunanku dialihkan oleh serumpun pohon pisang yang melabai-lambai
tertiup oleh angin yang begitu lumayan kencang. Aku menghampiri pohon pisang
itu lalu memperhatikan disekelilingnya. Aku melihat ada tunas pohon pisang, ada
batang pohon pisang sudah ditebang yang mulai membusuk, ada batang pohon pisang
belum berbuah dan ada pohon pisang yang sudah berbuah tetapi buahnya masih muda
dan ada pohon pisang yang buahnya sudah hampir matang.
Sembari
menunduk, aku berpikir lagi, kenapa pohon pisang itu berbuahnya cuman sekali
(berbuah, ditebang lalu mati) , kenapa
tidak dua kali atau bahkan lebih. Tidak seperti pohon-pohon lain yang setiap
musim menghasilkan buah.
Dalam
lamunanku aku berifikir “hidup ini cuman
sekali” dan “hidup ini selalu menawarkan pilihan”. Dan aku harus harus memilih
yang terbaik dalam hidup ku, karena hidup ini cuman sekali, tidak ada yang
namanya double life seperti dipermainan games yang nyawanya bisa ditambah.
Berarti aku ini penting dan sangat
penting. Karena aku tidak memiliki nyawa cadangan jika telah mati seperti
permainan games.
Saat
itu juga aku memutuskan aku harus merantau kesuatu tempat yang belum pernah aku
lalui sama sekali. Karena jika aku tinggal ditempat itu lagi, hidupku hanya
seperti itu saja sama seperti kebanyakan orang. Sementara “diriku ini penting”.
Keesokan
harinya aku langsung mengirim surat ke abang yang kebetulan beliau tinggal
dijakarta. Karena terlalu lama untuk mendapatkan balesannya, akupun tidak
sabaran ingin tau bagaimana jawaban abang. Aku bela-belain pergi menelepon
ketempat telepon umum, Yang dimana dalam satu desa itu hanya ada satu telepon
umum. Memang desa ku tempat tinggal tersebut masih desa banget. Dan sungguh sangat
susah untuk mendapatkan informasi disana. Tetapi sekarang sudah cukup banyak
perkembangan. Jangankan handphone, aliran
listrik saja disana belum ada. Untuk menonton televisi saja itu satu RT
rame-rame kerumah yang memiliki televisi, sambil membawa obor untuk penerangan
jalan, dimana pemilik sendiri rumah
memakai genset untuk menyalakan lampu. Karena belum ada listrik saat itu. Dan
untuk menonton televisi itu awal kalinya bayar perorang. Tetapai untuk per
kepala keluarga hitungannya lebih murah.
Dalam
percakapan Aku bilang sama abang “bang setelah lulus nanti aku ga mau tinggal
disini lagi” ucapku. Terus kamu mau tinggal dimana? Tanya abang. Aku mau
merantau bang, jawabku. Mau merantau kemana? Tanyaa abang. Bang kalau aku masih
tiggal disini hidupku akan sama seperti kebanayakan orang disini bang. aku gak
mau, aku mau pengalaman yang berbeda bang. aku mau mengubah hidup aku bang.
“pokoknya aku gak mau tinggal disini lagi”. sambil merengek-rengek ditelepon.
Yasudah
gini aja, kamu belajar yang benar. Kalau nilai kamu bagus kamu tingal dijakarta
sama abang, bagaimana? Jawab abang. Oke, aku siap. Tapai janji ya bang. jika
lulus dan nilai akau bagus nanti aku kejakarta, ujarku. Iya, jawab abang.
Saat
itu akupun belajar dengan sungguh-sungguh. Alhasil aku mencapai nilai tertinggi
kedua di sekolahku. Alhamdulillah, Rata-rata ijazahku mencapai 8 lebih.
Dan
akupun menagih janji itu, abangpun mengabulkannya. Akupun bersekolah diJakarta
dan saat ini kuliah di salah satu Universitas Swasta di Jakarta. Jurusan Desain
Komunikasi Visual (DKV).
Perjuangan
hidup di Jakarta jauh sanagat berbeda dengan di desa. Di Jakarta kita bisa
mengetahui segalanya, di Jakarta kita bisa mendapatkan segalanya. Dengan kata
lain, “di Jakarta apa aja ada”. Apa saja bisa ditemukan di Jakarta. Apalagi
zaman sekarang internet sudah dimana-mana, dunia ini bisa dijadikan dalam satu
digenggaman.
Di
Jakarta siapa yang tidak tau internet, siapa yang tidak punya handphone (Hp),
siapa yang tidak mengenal televisi? Saya rasa semua sudah mengetahuinya.
Masih banyak
saudara-saudara kita diluar sana yang membutuhkan informasi. Bukan hanya di
medan, di papua, di Kalimantan, di Sulawesi dll. Mereka semua mebutuhkan
informasi itu, mereka semua membutuhkan bantuan kita.
Mari kita bantu saudara-saudara kita dari sabang sampai
merauke. Melalui lomba cerita inspirasi
ini saya mengajak para pembaca untuk bersatu. Dengan kita bersatu masalah bisa
kita atasi bersama, tidak ada lagi yang namanya kemiskinan, tidak ada lagi
pengangguran yag meraja lela. Dengan mudahnya fasilitas khususnya dijakarta,
sudah saatnya kita untuk bangkit.
Ada satu pepatah yang
menarik “tuntutlah ilmu sampai ke negeri china”
Ayo kita kejar impian
kita setinggi tingginya, “pantang pulang sebelum padam” “pantang menyerah
sebelum berhasil”
NEVER GIVE UP, NEVER GIVE UP, NEVER GIVE UP
Salam sukses…
Silakan komentar dengan baik dan bijak. Sesuai dengan artikel yang dibaca :)
EmoticonEmoticon